Selamat Tinggal Cinta Pertama
aat itu,
turun hujan di kota yang begitu lekat dengan nilai-nilai budaya itu. Masih ku
ingat saat itu aku dan teman-teman pulang dari les pelajaran untuk Ujian
Nasional nanti, aku berada di dekat Nita—teman sekaligus sahabat karibku—kami
cepat-cepat untuk pulang karena takut hujan semakin deras. Disinilah aku
menemukan sekaligus melepas cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya saat aku dan
Nita berpisah setelah tiba di pertigaan yang pastinya kami berbeda arah,
padahal aku tak membawa payung, aku nebeng dengan Nita. Aku kebingungan, kalau
pergi kerumah Nita dahulu aku takut di marahi ayah karena terlambat pulang.
Tapi bila ke rumahku dahulu aku kasihan dengan Nita karena waktu sudah
menunjukkan pukul 15.30. Dalam kebingunganku itu sebuah payung bersandar di
dekatku. Seorang pemuda yang sebaya denganku mengulurkan payungnya padaku. Aku
berusaha menolaknya, namun pemuda itu memaksaku untuk membawanya saja.
Sedangkan dia berlari-lari kecil menuju sebuah kios kecil menghampiri sepedanya
dan mengayuhnya sekuat mungkin menuju kejauhan. Nita tersenyum kepadaku, aku
pun ikut tersenyum namun bercampur heran. Sesampai di rumah aku langsung
membersihkan tubuhku. Setelah selesai aku masih membayangkan pemuda yang tadi
memberikan payungnya itu kepadaku. Aku merasa berhutang padanya, karena aku tak
sempat mengucapkan terima kasih padanya. Malam itu aku
melanjutkan belajarku. Detik-detik Ujian Nasional sudah dekat. Aku ingin lulus,
karena aku ingin membahagiakan orangtuaku yang gagal dilakukan oleh kakakku
yang meninggal dua tahun yang lalu akibat pesawat yang di tumpanginya untuk
belajar ke Mesir mengalami kecelakaan. Aku harus bisa mewujudkan impian kakak
yang ingin mengabulkan keinginan orangtuaku untuk mengunjungi tanah suci
Mekkah. Aku yakin semua keinginanku ini akan tercapai dengan kerja keras dan
semangat yang tak kenal lelah untuk terus belajar.
Pagi itu
aku berangkat ke sekolah kembali dengan Nita, tak lupa aku membawa payung yang
dipinjamkan oleh pemuda itu kepadaku tempo hari. Aku tak melihatnya, padahal kemarin
disini dia meminjamkan payungnya kepadaku. Aku langkahkan kakiku ke kios di
pinggir jalan itu untuk bertanya tentang pemuda itu. Pemilik kios itu menyebut nama Hariri, begitu sebutannya nama
pemuda itu. Pemilik kios itu menjelaskan bahwa pemuda itu memang bekerja
disini, namun entah mengapa hari ini ia belum datang juga. Aku berpikir apakah
ia sakit setelah kemarin ia hujan-hujanan. Aku segera membuang pikiran itu
jauh-jauh dan bergegas berangkat sekolah karena kami hamper terlambat. Di sekolah aku masih bertanya-tanya
tentang pemuda itu. Aku penasaran tentang jati diri pemuda itu. Aku berusaha
untuk mencari pemuda yang bernama Hariri itu. Sepulang sekolah aku bergegas ke
ki-os tersebut, dan ternyata aku menemukan pemuda itu. Aku pun menghampirinya, dan
mengutarakan kedatanganku. Aku mengucapkan terima kasih padanya telah
meminjamkan payungnya padaku. Aku pun memperkenalkan diriku, begitupun dengan
dirinya. Tatapannya begitu mengisyaratkan hal yang menyentuh hatiku. Hari ini,
aku bertemu dengan pemuda yang berbeda dengan yang lainnya. Dan besok aku akan
lebih jauh tahu tentang dia. Tak pernah ku duga sebelumnya, Hariri
ternyata hidupnya jauh lebih baik dariku. Dia putus sekolah sejak kelas dua
SMP. Ia membantu orangtuanya untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja di
kios ke-cil ini. Walaupun hasilnya tak seberapa, namun masih bisa untuk
menutupi kebutuhan hari ini. Aku merasa beruntung karena aku masih bisa makan
tanpa harus membantu orangtua. Yang membuat aku suka dengan
jati diri Hariri semangat-nya untuk belajar tak pernah putus walaupun ia tak
bisa melanjutkan sekolah. Ia belajar dengan meminjam buku catatan milik
temannya. Se-andainya ia sekolah mungkin ia sudah kelas tiga sepeti aku. Betapa
he-batnya dia. Semangatnya tak pernah luntur walau ia tak mempunyai a-pa-apa.
Ia hanya menyakini Satu keya-kinabahwa siapa saja yang mau berusaha pasti apa
yang ia impikan pasti akan tercapai. Hariri me-mang teman sekaligus guru bagiku. Aku merasa
beruntung mendapatkan teman sebaik dan sepintar seperti Hariri.
Aku belajar banyak darinya. Setiap hari
aku selalu bertemu dengannya di waktu sore. Aku pun tambah semangat untuk menggapai
cita-citaku. Kare-na dia adalah sumber inspirasiku sekaligus teman curhatku. Lama- kelamaan kami semakin akrab
saja. Dari teman jadi saha-bat, dari sahabat aku merasakan hal yang aneh yang
membuatku bingung sendiri. Aku merasakan hal yang berbeda dari saat aku
berte-mu Hariri kali ini. Ku rasakan benih-benih cinta itu tumbuh diantara
kami. Begitupun juga Hariri, merasakan hal yang sama denganku. Aku menyimpulkan atas perasaanku ini,
mungkinkah aku telah jatuh cinta pada Hariri? Entahlah. Tuntun hati hamba Ya
Allah bila hati hamba memang jatuh hati padanya, namun apabila hati ini hanya
sepintas saja bimbing hati hamba agar tidak terlalu jauh agar diriku maupun
dirinya tak kecewa nantinya. Hari ini adalah hari terakhir aku
sekolah di sekolah ini. Besok, a-dalah hari pertempuran kami. Kami harus yakin
kalau kami pasti ber-hasil. Sebelum aku pergi ke sekolah aku sempatkan untuk
bertemu de-ngan Hariri, dia memberiku semangat yang begitu berkobar. Semangat
yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku berjanji akan memba-hagiakan kedua
orangtuaku dan tak lupa seseorang yang telah membuatku mengerti akan hikmah
kehidupan. Aku percaya, Hariri akan bangga denganku, karena ini juga adalah
sebagian hasil jerih payahnya untuk tak pernah berhenti belajar. Lima tahun telah berlalu. Kini aku
pulang ke-kota ini dengan membawa sejuta kebahagiaan. Aku merasa bangga dapat
mengabulkan keinginan ke-dua orangtuaku. Akhirnya, keinginan untuk
meng-injakkan kaki di kota Nabi itu. Namun yang mem-buat aku masih kurang
lengkap dengan semua kebahagiaan ini adalah Hariri. Aku merindukan dia. Karena
dialah yang telah membuat aku bisa jadi seperti sekarang, yang telah
mengantarkan aku menjadi sarjana muda. Dan yang telah meminjamkan payungnya itu
kepadaku. Hariri, dimanapun kau berada, bagiku
kau selalu dalam hatiku. Karena dirimulah yang membuat diriku menjadi orang
pintar, menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Aku bertemu dengannya dalam suasana
hujan deras di bulan Ap-ril yang begitu pekat. Dan aku kembali ke kota ini di
suasana dan tem-pat yang sama juga. Hujan tak begitu deras, aku duduk termenung
di bawah etalase took yang dulunya kios kecil kini menjelma menjadi sebu-ah
mini swalayan yang megah. Berharap aku dapat bertemu dengan Ha-riri walau hanya
sekilas saja……… April di
senja hari, 1998
menyentuh bangeeeeeeeet, mana lagi ceritanya???
BalasHapus