Akuariumku

Kamis, 21 Februari 2013

Jalan Berliku


Aku merasakan kekosongan dalam diriku
Aku  merasakan cinta yang tak pernah bisa aku rasakan
Aku merasakan jiwaku rapuh
Aku merasakan rapuhnya cintaku
Aku merasakan luka dalam hatiku
Jalanku berliku...
Tak pernah ada lurusnya
Tiap-tiap likuan itu
Ku rasakan cobaan yang amat mendera jiwa
Tiap-tiap belokan itu
Penuh dengan halangan yang menghalangiku
Aku merasa resah
Dan aku merasa putus asa
Namun aku masih punya
Sedikit pemahaman bagi diriku
Yang mulai merapuh ini
Serta yang tak mampu menjaga diri
Dari segala yang mungkin terjadi






Februari Penuh Cinta, 2010-02-28

Senin, 11 Februari 2013

Ingin Setia


Ingin Setia


Mata itu, selalu memancarkan tatapan yang amat berbeda. Sayu namun menggetarkan jiwa. Sepertinya Rayman merasakan ada hal yang aneh pada diri Alya. Entah apa, namun sangat membingungkan.
Hari ini, Rayman kuliah siang. Seperti biasanya ia segera menemui kekasihnya yang kini belajar dijurusan fakultas bahasa, karena hari ini adalah hari yang amat istimewa bagi Keyla, hari Alya ulang tahunnya. Tak pernah lupa Rayman akan ulang tahun Keyla, ia akan selalu ingat karena ia adalah kekasih terbaiknya.
“Hai Alya, sedang apa kamu di sini?,” tiba-tiba ia bertemu dengan Alya.
“Nggak, cuma mau ke perpustakaan,” senyum yang amat menawan.
“Oke deh, aku mau ketemu sama Keyla, karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Kamu mau ikut?,” tanya Rayman pada Alya.
“Oh ya, wah selamat ya, maaf aku nggak bisa karena aku mau ngerjain tugas dari pak Ali. Tolong sampaikan salamku pada Keyla, ya!,”  Alya tersenyum dan ia segera /pergi.
“Tentu Al, selamat mengerjakan ya, semoga sukses!,” langsung saja Rayman meninggalkan Alya yang arah mereka berlawanan. Terlihat Rayman masuk ke sebuah ruangan kelas. Alya menatapnya sayu dan kosong. Entah apa yang ada dibenak Alya. Ia tersadar dari lamunannya dan segera masuk kedalam perpustakaan.
Rayman segera menemui Keyla, terlihat ia sedang sibuk dengan buku bacaannya.
“Happy Birthday to you, happy birthday to Keyla.....,” ucap Rayman sambil memberikan sebuah bungkusan pada Keyla. Rayman segera memberikannya pada Keyla.
“Apa ini Ray, aku..aku bener nggak nyangka kamu masih inget sama ulang tahunku??,” Keyla tersenyum haru. Ia segera menerima bungkusan itu dan ia segera membukanya. Dan ternyata, isi bungusan itu adalah sebuah kalung liontin yang sangat diidamkan oleh Keyla selama ini. Ia tak menyangka bakal bisa mendapatkan kalung yang dicari-carinya ini.
“Sekarang kamu nggak perlu cari lagi, karena kamu sudah mendapatkannya.”
Ray, aku nggak nyangka kamu bisa mendapatkan kalung ini. Aku sangat suka kalung ini, bukan karena bagusnya, karena kalung ini selalu mengingatkanku pada ayahku yang selalu mengajariku untuk selalu tegar, terima kasih Ray,” Keyla memeluk Rayman dengan penuh rasa sayang. Ia sangat bahagia dapat memiliki orang yang amat mencintainya di ulang tahunnya.
“Maaf, aku hanya bisa ngasih itu. Aku nggak bisa ngasih kamu sesuatu yang lebih berharga,” Ucap Rayman disela-sela pembicaraan.
“Tak apa Ray, bagiku ini adalah hadiah yang amat teristimewa bagiku. Terima Kasih Ray.”
Sementara itu, Aya masih saja sibuk dengan buku pelajarannya. Ia merasa tak tenag, entah mengapa, ia tak tahu. Yang pasti hatinya tengah gundah. Apa karena Rayman. Tidak, jangan sampai. Rayman telah memiliki Keyla, ia tak mau disebut sebagai perusak hubungan orang lain. Segera saja ia kembali ke dalam kelas. Saat ia melewati kelas Keyla, ia bertemu dengan mereka yang asyik bergandengan tangan. Alya pun kaget, namun ia berusaha untuk bersikap tidak terjadi apa-apa.
“Al, mau kemana? Ikut kami yuk!,” ajak Keyla.
“Kemana? Aku lagi sibuk nih!,” Alya berusaha mengelak.
“Ayolah Al, kita ke kantin. Aku traktir deh. Oh ya, makasih ya atas ucapannya. Tadi Ray yang bilang,” Keyla tersenyum manis pada Alya, Alya pun membalasnya dengan senyum yang manis juga walaupun pahit rasanya.
“Baiklah, tapi hanya sebentar ya, aku masih ada tugas!.”
Langsung saja mereka menuju kantin kampus yang lumayan besar. Kali ini giliran Keyla yang mentraktir, karena ini adalah hari ulang tahunnya.
“Al, silahkan pesen apa aja juga boleh, kali ini aku yang nanggung semuanya, jangan malu-malu!,” ucap Keyla pada Alya. Sementara itu Alya hanya tersenyum kosong.
Alya hanya bisa terdiam membisu saat mereka berdua tengah berbahagia. Keyla beruntung karena memiliki Rayman. Seorang laki-laki yang cerdas, tampan, dan berwibawa. Andai saja Alya dapat memiliki Rayman lebih dulu dari Keyla, tentunya ia akan merasa bangga dan bahagia, karena dapat memiliki Rayman. Sungguh, Alya tak sanggup bila harus terus menyaksikan adegan yang seharusnya ia idamkan, sungguh, ia tak sanggup. Hatinya teriris tatkala melihat Rayman dan Keyla te;ngah tersenyum bahagia. Sungguh, Alya benar-benar hancur.

***

Pagi itu, seperti biasa Rayman sedang duduk ditaman kampus. Ia tengah mengetik sesuatu. Langsung saja Alya menghampirinya yang tengah membawa sebuah bungkusan kecil.
“Hai Ray, sedang apa, boleh duduk di sini nggak?,” tanya Alya pada Rayman.
“Boleh, silahkan. Nih, lagi ngetik skripsi, besok Sabtu harus segera dikumpulkan,” ucap Ray sambil terus mengetik tugasnya.
“Ray, aku mau ngasih sesuatu pada kamu. Aku harap kamu tak marah dan mau menerimanya. Ini bukan ada maksud apa-apa Ray, aku Cuma mau ngasih sesuatu aja pada kamu,” ujar Alya sambil menyerahkan bungkusan itu.
“Wah, dengan senang hati aku akan menerimanya, tapi ini isinya apa?,” Ray membolak-balik bungkusan itu.
“Buka saja, oh ya, aku harus pergi dulu ya, masih ada sesuatu yang harus aku urus, aku harap kamu senang menerimanya,” Alya lalu berlalu pergi. Meninggalkan Ray yang sendirian.
Segera saja Ray membuka bungkusan itu, dan ternyata isinya adalah sebuah boneka lucu yang begitu halus bulunya.  Dan ternyata, dibalik boneka itu terselip selembar kertas berwarna merah muda. Tiba-tiba datang Keyla dengan senyuman yang begitu hangat, langsung saja Rayman menyembunyikan kertas itu didalam saku jaketnya.
“Ray, boneka siapa ini, kok lucu banget?”
“Itu tadi hadiah dari Alya, entah kenapa ia memberiku hadiah. padahal aku kan nggak ulang tahun. Kalau kamu mau ambil saja!.”
“Bener Ray?? Terima Kasih Ray!,” Keyla begitu senang menerima boneka itu.
Dan di kesempatan yang lain, Alya melihat Keyla tengah membawa boneka yang .diberikan pada Rayman tadi pagi. Dan kini telah berpindah tangan ke tangan Keyla. Betapa hancur hati Alya melihat semua pengorbanannya gagl sia-sia. Mungkin ini sudah takdirnya, tak diizinan untuk memiliki Rayman. Biarlah ini memnjadi pelajaran bagin Alya untuk tidak mencintai seseorang yang telah memiliki cinta orang lain.

***

Kini Rayman sadar bahwa selama ini diam-diam Alya mencintainya. Memang ini aneh, namun ia ,tak bisa. Karena ia telah memiliki Keyla. Tak mungkin ia harus menduakan Keyla. Keyla adalah gadis yang baik, tak tega untuk mengkhianati cinta Keyla.
“Al, aku mengerti perasaanmu. Tapi aku nggak bisa menerima kamu. Karena aku telah memiliki Keyla, aku hanya ingin setia. Setia pada satu cinta. Maafkan aku Al!,” Ucap Ray dengan nada yang memilukan. Ia pun meninggalkan Alya sendirian.
Sementara itu, Alya hanya bisa menangisi ketakberdayaannya, ia galau, ia rapuh. Namun ia sadar, semua ini tak mungkin. Ia harus sadar, ini tak akan terwujud. Terlihat seorang perempuan berdiri dibelakang Alya, menyapanya dan melemparkan senyum.
“Al!.”
“Key???.”

Selamat Tinggal Cinta Pertama



S
 aat itu, turun hujan di kota yang begitu lekat dengan nilai-nilai budaya itu. Masih ku ingat saat itu aku dan teman-teman pulang dari les pelajaran untuk Ujian Nasional nanti, aku berada di dekat Nita—teman sekaligus sahabat karibku—kami cepat-cepat untuk pulang karena takut hujan semakin deras. Disinilah aku menemukan sekaligus melepas cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya saat aku dan Nita berpisah setelah tiba di pertigaan yang pastinya kami berbeda arah, padahal aku tak membawa payung, aku nebeng dengan Nita. Aku kebingungan, kalau pergi kerumah Nita dahulu aku takut di marahi ayah karena terlambat pulang. Tapi bila ke rumahku dahulu aku kasihan dengan Nita karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Dalam kebingunganku itu sebuah payung bersandar di dekatku. Seorang pemuda yang sebaya denganku mengulurkan payungnya padaku. Aku berusaha menolaknya, namun pemuda itu memaksaku untuk membawanya saja. Sedangkan dia berlari-lari kecil menuju sebuah kios kecil menghampiri sepedanya dan mengayuhnya sekuat mungkin menuju kejauhan. Nita tersenyum kepadaku, aku pun ikut tersenyum namun bercampur heran.             Sesampai di rumah aku langsung membersihkan tubuhku. Setelah selesai aku masih membayangkan pemuda yang tadi memberikan payungnya itu kepadaku. Aku merasa berhutang padanya, karena aku tak sempat mengucapkan terima kasih padanya. Malam itu aku melanjutkan belajarku. Detik-detik Ujian Nasional sudah dekat. Aku ingin lulus, karena aku ingin membahagiakan orangtuaku yang gagal dilakukan oleh kakakku yang meninggal dua tahun yang lalu akibat pesawat yang di tumpanginya untuk belajar ke Mesir mengalami kecelakaan. Aku harus bisa mewujudkan impian kakak yang ingin mengabulkan keinginan orangtuaku untuk mengunjungi tanah suci Mekkah. Aku yakin semua keinginanku ini akan tercapai dengan kerja keras dan semangat yang tak kenal lelah untuk terus belajar.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah kembali dengan Nita, tak lupa aku membawa payung yang dipinjamkan oleh pemuda itu kepadaku tempo hari. Aku tak melihatnya, padahal kemarin disini dia meminjamkan payungnya kepadaku. Aku langkahkan kakiku ke kios di pinggir jalan itu untuk bertanya tentang pemuda itu. Pemilik kios itu  menyebut nama Hariri, begitu sebutannya nama pemuda itu. Pemilik kios itu menjelaskan bahwa pemuda itu memang bekerja disini, namun entah mengapa hari ini ia belum datang juga. Aku berpikir apakah ia sakit setelah kemarin ia hujan-hujanan. Aku segera membuang pikiran itu jauh-jauh dan bergegas berangkat sekolah karena kami hamper terlambat.          Di sekolah aku masih bertanya-tanya tentang pemuda itu. Aku penasaran tentang jati diri pemuda itu. Aku berusaha untuk mencari pemuda yang bernama Hariri itu. Sepulang sekolah aku bergegas ke ki-os tersebut, dan ternyata aku menemukan pemuda itu. Aku pun menghampirinya, dan mengutarakan kedatanganku. Aku mengucapkan terima kasih padanya telah meminjamkan payungnya padaku. Aku pun memperkenalkan diriku, begitupun dengan dirinya. Tatapannya begitu mengisyaratkan hal yang menyentuh hatiku. Hari ini, aku bertemu dengan pemuda yang berbeda dengan yang lainnya. Dan besok aku akan lebih jauh tahu tentang dia.          Tak pernah ku duga sebelumnya, Hariri ternyata hidupnya jauh lebih baik dariku. Dia putus sekolah sejak kelas dua SMP. Ia membantu orangtuanya untuk menghidupi keluarganya dengan bekerja di kios ke-cil ini. Walaupun hasilnya tak seberapa, namun masih bisa untuk menutupi kebutuhan hari ini. Aku merasa beruntung karena aku masih bisa makan tanpa harus membantu orangtua.                   Yang membuat aku suka dengan jati diri Hariri semangat-nya untuk belajar tak pernah putus walaupun ia tak bisa melanjutkan sekolah. Ia belajar dengan meminjam buku catatan milik temannya. Se-andainya ia sekolah mungkin ia sudah kelas tiga sepeti aku. Betapa he-batnya dia. Semangatnya tak pernah luntur walau ia tak mempunyai a-pa-apa. Ia hanya menyakini Satu keya-kinabahwa siapa saja yang mau berusaha pasti apa yang ia impikan pasti akan tercapai. Hariri me-mang teman sekaligus guru bagiku. Aku merasa beruntung mendapatkan teman sebaik dan sepintar seperti Hariri.
          Aku belajar banyak darinya. Setiap hari aku selalu bertemu dengannya di waktu sore. Aku pun tambah semangat untuk menggapai cita-citaku. Kare-na dia adalah sumber inspirasiku sekaligus teman curhatku.          Lama- kelamaan kami semakin akrab saja. Dari teman jadi saha-bat, dari sahabat aku merasakan hal yang aneh yang membuatku bingung sendiri. Aku merasakan hal yang berbeda dari saat aku berte-mu Hariri kali ini. Ku rasakan benih-benih cinta itu tumbuh diantara kami. Begitupun juga Hariri, merasakan hal yang sama denganku.          Aku menyimpulkan atas perasaanku ini, mungkinkah aku telah jatuh cinta pada Hariri? Entahlah. Tuntun hati hamba Ya Allah bila hati hamba memang jatuh hati padanya, namun apabila hati ini hanya sepintas saja bimbing hati hamba agar tidak terlalu jauh agar diriku maupun dirinya tak kecewa nantinya.          Hari ini adalah hari terakhir aku sekolah di sekolah ini. Besok, a-dalah hari pertempuran kami. Kami harus yakin kalau kami pasti ber-hasil. Sebelum aku pergi ke sekolah aku sempatkan untuk bertemu de-ngan Hariri, dia memberiku semangat yang begitu berkobar. Semangat yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku berjanji akan memba-hagiakan kedua orangtuaku dan tak lupa seseorang yang telah membuatku mengerti akan hikmah kehidupan. Aku percaya, Hariri akan bangga denganku, karena ini juga adalah sebagian hasil jerih payahnya untuk tak pernah berhenti belajar.          Lima tahun telah berlalu. Kini aku pulang ke-kota ini dengan membawa sejuta kebahagiaan. Aku merasa bangga dapat mengabulkan keinginan ke-dua orangtuaku. Akhirnya, keinginan untuk meng-injakkan kaki di kota Nabi itu. Namun yang mem-buat aku masih kurang lengkap dengan semua kebahagiaan ini adalah Hariri. Aku merindukan dia. Karena dialah yang telah membuat aku bisa jadi seperti sekarang, yang telah mengantarkan aku menjadi sarjana muda. Dan yang telah meminjamkan payungnya itu kepadaku.          Hariri, dimanapun kau berada, bagiku kau selalu dalam hatiku. Karena dirimulah yang membuat diriku menjadi orang pintar, menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
          Aku bertemu dengannya dalam suasana hujan deras di bulan Ap-ril yang begitu pekat. Dan aku kembali ke kota ini di suasana dan tem-pat yang sama juga. Hujan tak begitu deras, aku duduk termenung di bawah etalase took yang dulunya kios kecil kini menjelma menjadi sebu-ah mini swalayan yang megah. Berharap aku dapat bertemu dengan Ha-riri walau hanya sekilas saja………  April di senja hari, 1998